Cuaca mendung, tapi angin yang bertiup tidak banyak membantu menghilangkan keringat yang membasahi tubuhku. Tangisanku perlahan reda. Aku berbaring, lelah sekali. "Ummi, maafkan anakmu yang tidak mampu menjaga kehormatan diri. Astaghfirullaah.. Yaa Robb, ampunilah hambamu yang sangat hina, aku khilaf, jauhkanlah hamba dari segala bentuk kemaksiatan lagi, berikanlah hamba kekuatan agar dapat segera melupakan laki2 itu. Aamiin Yaa Allah..." Aku bukan perempuan bodoh dan lugu yang tidak menyadari bahwa yang aku lakukan selama ini adalah perbuatan yang sangat hina dan berdosa. Tapi sungguh sangat sulit melepaskan diri dari hal itu karena aku sangat takut kehilangan sosok laki2 yang sudah begitu dalam mengunci pikiran dan hatiku.Harapanku yang tinggi dan kepercayaan padanya membuatku menaruh mimpi tanpa mengindahkan pemahaman yang selama ini telah aku pelajari di pengajian tempatku menuntut ilmu.
*Dia bukan orang asing bagiku, dia salah seorang teman dekatku semasa kecil di kampung. Biasa ku panggil dia Kang Diman. Usia kami hampir sama, hanya berbeda bulan saja. Meskipun dalam keseharian kami sangat jarang bertemu langsung, tapi kami selalu menyempatkan diri saling bertukar kabar lewat sms atau telepon, biasanya aku yang meneleponnya ketika smsku tidak juga dibalasnya, aku pikir mungkin dia sedang tidak punya pulsa. Aku akui dia punya pesona yang membuatku suka padanya. Kepolosannya dan semangatnya menyampaikan ilmu yang dia dapatkan dipengajiannya, betapa rajinnya dia membantu orangtua dan nilai plus lainnya : wajahnya yang tampan berjenggot tipis dengan kulit coklat dan berat tinggi tubuhnya yang ideal.
Dari komunikasi yang kami jaga selama ini, semakin besar keinginanku untuk selalu dekat dengannya. Beberapa kali aku berusaha untuk bertemu, sekedar meminjam majalah atau buku, yang penting aku bisa melihatnya untuk menumpahkan kerinduanku. Saat bertemu, reaksinya datar2 saja, hal yang membuatku sangat kecewa.
Lalu ujian itu datang. tak lama setelah adzan Maghrib berkumandang hujan turun deras sekali, aku segera mengambil wudhu & sholat. Biasanya aku selalu membaca al-Qur'an sampai menjelang Isya, namun dinginnya udara menggodaku untuk berselimut. Ku sambar hp, iseng ku sms Kang Diman.
#Aku : "Hujan deres bgt yo. Dingine poll :D. Lg apa Kang?"
#Kang Diman : "Biasa, lagi ngumpul sama adik kakak sambil makan gethuk & sruput kopi. Tak masukan opini sekalian. Yo kalo dingin minum yang anget2 tho Ri :D"
#Aku : "Keren.. Ah males bikin ke dapurnya. Mending sms wae ma dirimu, sama2 bs menghangatkan wkwkwk :D"
#Kang Diman : "Hangatnya beda, kalo minum yang hangat awakmu, kalo smsan yang hangat apanya yo wkwkwk :D"
#Aku : "Semuanya laaah Kang :D.Tapi bener lho kalo sms dirimu, rasa dinginnya ilang :D. Apalagi kalo ketemu langsung hahaahaa. Kang kapan nikah? :D"
#Kang Diman : ":O ko tiba2 tanya nikah wkwkwk kaya yang 'ndak tau aja, blm kepikiran! :D. Lha dirimu sendiri gmn? Kan kalo perempuan seusiamu udah gelisah menunggu dijemput sang pangeran cinta :D"
#Aku : "Aku? Yaa kalo begitu tunggu dirimu siap aja, kan aku..... karo dirimu, Kang wkwkwk :D"
#Kang Diman : "Wegaaah, ga mau! Maaf2 yo, aku tak punya rasa untukmu jadi kubur wae khayalanmu wkwkwk :DV"
#Aku : "Masaaa, ga percaya aku, udah jujur aja, dirimu juga memendam rasa yang sama kan. Kalo kamu jujur, aku yo seneng lho. Kalo aku seneng nanti tak traktir makan2 wkwkwk :D"
#Kang Diman : "Kalo traktirnya ayo, siapa takut :D. Makan2nya bareng2 keluarga yo :D. Tapi yang jujurnya tetep wae, aku 'ndak punya rasa sama kamu. Gmn, tetep jadi traktir aku ra? wkwkwk :D"
Pikiranku kacau, ditengah bercandaan kami, aku merasakan penekanan kalimat2nya, sepertinya dia benar2 tidak punya rasa padaku. Sedih luarbiasa menyergap. Ku halau. Terlintas pikiran kotor di benakku.
#Aku : "Okelah siap, nanti tak traktir semua akhir bulan ini :D. Uuh masih dingin, padahal tadi udah terasa hangat :D. Kang, maaf agak pribadi neh, eeeeemh maluuu, ah tapi daripada penasaran heee... Gini, dirimu kan pria dewasa, memangnya keinginanmu untuk menikah belum ada po? Secara dirimu PRIA DEWASA lo :D :D :D"
#Kang Diman : "Eh ko masih bahas itu? Memangnya kalo PRIA DEWASA knp, lha awakmu sendiri PREMPUAN DEWASA :D"
#Aku : "Ya beda bangetlah, kalo perempuan kan bisa "menahan", kalo laki2 kan sulit membendung keinginan......."
#Kang Diman : ":O bgitu kah... Aku yo biasa wae Ri. 'ndak ada pikiran yang gimana2. Sebentar... Ko jadi ngomong ini, jangan2 dirimu yang kebelet pengen cepet nikah wkwkwk :D"
#Aku : "Yg bener Kang. Kan ky malam ini, hujan dingin kan enaknya ditemenin istri..."
#Kang Diman : "Aku kan udah ditemenin kamu.. Halaaaah aya2 wae :D"
#Aku : "Aku memangnya istrimu ya Kang... Siap2 aja aku melayanimu sepenuh hati..."
............................
............................
Berlanjut hari ke minggu ke bulan, terus.. Seperti candu, kami akhirnya terlibat komunikasi yang telah jauh melanggar Syara'. Di benakku hanya satu, berjuang untuk merebut hatinya meskipun aku sadar sudah merendahkan harga diri sebagai muslimah, semua tetap aku lakukan walau saat bertemu tetap saja sikapnya tak banyak berubah padaku. Tapi aku tak akan pernah menyerah.*
Hingga hari ini sms nya mengguncang duniaku.....
#Kang Diman : "Ri, aku minta maaf sedalam2nya kalo selama ini telah merendahkanmu karena sms2 yang kita lakukan sudah sangat keterlaluan. Maaf karena aku tidak bisa menahan diri & menjaga kehormatan sebagai sesama muslim. Aku harap kamu juga mengerti, sebaiknya mulai saat ini kita tidak lagi berkomunikasi samasekali. Aku akan mengganti no ku, jadi kemungkinan besar kalo kamu membalas aku tak akan menerimanya, aku akan patahkan no nya. Terimakasih sebelumnya pernah mendukungku. Jaga diri baik2, jangan sampai melakukan hal yang sama lagi, aku percaya kamu adalah wanita terhormat yang mampu menjaga kemuliaan diri. Semoga dirimu menyempurnakan hijabmu juga. Wassalam."
Buru2 aku telepon tapi no nya tidak aktif, ku coba berkali2 tetap saja begitu. Kalut & sangat marah. Aku benci sekali. Kecewa. Namun akhirnya aku tersadar, bersyukur sekali sebenarnya. Aku ucapkan istighfar.
~Desember Akhir 2011~
Perlahan ku baca undangan pernikahan dengan hati tak menentu. Perasaan cemburu segera ku tepis. Nama Kang Diman & nama seorang akhwat terpampang disana. Aku harap aib yang pernah terjalin antara aku & Kang Diman tetap menjadi rahasia kami yang tidak pernah diketahui istrinya. Betapa malunya aku bila istrinya kelak sampai tahu apa yang pernah terjadi diantara kami. Siang ini aku harus ke rumahnya, minta no hp Kang Diman pada orang2 rumahnya. Terakhir yang aku tahu dia pindah ke Bandung.
#Aku : "Assalamu'alaikum. Kang afwan jiddan mengganggu, ga ada maksud selain ingin memastikan sesuatu. Oh iya barakallah ya atas rencana pernikahannya. Aku cuma minta supaya kelak kalo Akang sudah menikah, jangan sampai aib kita dahulu diceritakan pada istri Akang. Saya akan sangat malu kalo suatu hari bertemu beliau. Syukron ya Kang. Rinay"
#Kang Diman : "Wa'alaikumussalam. Ok."
Penasaran dengan sepotong jawabannya, aku masih khawatir.
#Aku : "Afwan, benar ya Kang, jangan sampai diceritakan?"
#Kang Diman : "IYA"
Masih mengambang, tapi ku putuskan sudahi saja, karena dari jawabannya yang singkat aku tahu dia merasa terganggu, entah karena sibuk atau mungkin karena sms dariku.
Gelisah, rasanya ingin menangis ditempat, eemh malunya aku kalau sampai itu terjadi. Akan ada banyak pertanyaan mencecarku bila aku tak bisa menahan diri, dan aku tak mau diganggu. Kecemburuan dan rasa marah yang menyelimutiku sedemikian dalam ku balas dengan istighfar. Orang2 sudah berkumpul dalam suasana gembira. Aku tak mau merusak suasana, tentu saja. Ummi menyuruhku mengantarkan makanan dan minuman lagi karena persediaan di meja sudah agak kosong. Ku lirik 2 pasangan itu, ekspresi mereka begitu bahagia menemani tamu2 yang masih keluarga dan kerabat dekat, mereka memang sengaja datang karena diundang oleh keluarga Kang Diman dalam acara syukuran adiknya membuka cabang bengkel yang baru.
Aaah pantaskah aku masih menimpan gejolak rasa itu, ataukah ini hanya sekedar kekecewaanku semata melihat istri Kang Diman yang terlihat “sempurna”, cantik dan disukai semua orang? Entahlah, tapi saat ku lihat wajah Kang Diman, jantungku berdegup kencang. Apa ini? Nostalgia perasaan atau melankolis yang tiba2 muncul karena aku masih sendiri saja? Padahal ini bukan pertama kali aku bertemu lagi dengannya. Meskipun aku tidak bisa hadir di pernikahannya dulu, tapi aku datang ketika mereka mengadakan walimah di kampung kami. Aku dan Aninda, istri Kang Diman langsung akrab waktu itu, sementara Kang Diman ku rasakan sangat menjaga jarak dan menghindar dariku.
Tergagap saat ku dengar namaku dipanggil. Aninda istri Kang Diman ternyata, dia melambaikan tangannya memintaku mendekat.
Aninda : “Duduk Ri, kamu dari tadi bolak balik dapur, lelah kan, sini temani kami.”
Aku : “Gpp ko Mbak, kan tugasku mank membantu hehe. Mbak tugasnya temani para tamu”
Aninda : “Ya ga gitu juga, kemarilah. Ri, ada banyak ikhwan yang belum menikah lho, teman2nya Kang Diman. Kan kata kamu, kamu belum punya calon. Gimana, mau kami perkenalkan ya yang kira2 bisa sejalan sama kamu?”
Kang Diman beranjak pergi saat aku mendekat, dia menghampiri pamannya yang sedang duduk agak jauh dari kami. Aku menghela nafas, agak tersinggung. Aku mencoba bersikap biasa, khawatir Aninda curiga.
Aku : “Iya boleh banget Mbak. Pokonya aku manut wae. Aku percaya banget Mbak dan Kang Diman bisa memilihkan buat aku hehe…”
Aninda : “Alhamdulillaah.. Sip kalo begitu. Tunggu kabarnya dari kami ya Ri.”
Aninda memelukku erat, uuuuwh bagaimana tidak Kang Diman tidak jatuh cinta padanya, aku saja kalau mau jujur, sangat nyaman berdekatan dengannya. Dia cantik dan menarik. Untaian pujian lainnya yang mungkin tak kan habis. Meski lagi2, aku memendam cemburu dan iri pada Aninda. Ku halau karena aku tahu, Aninda tidak pantas menerimanya. Tapi perasaanini membunuhku…
~Pertengahan Mei 2012~
#Aninda : “Assalamu’alaikum. Ri, pa kbr? Smoga km dan keluarga slalu dlm lindungan Allah Ta’ala. Aamiin. Gini lho, tentang ikhwan2 temannya kang Diman yang pernah aku bilang, alhamdulillaah ada ikhwan, beliau satu kerjaan sama Kang Diman, siap menikah. Kang Diman sudah menawarkan dirimu dan dia menerima. Namanya Kang Abdullah, usia diatas dirimu 2 tahun. Sekarang kamu sholat istikhoroh terlebih dahulu, agar ga salah langkah.”
#Aku : “Wa’alaikumussalam. Alhamdulillaah baik Mbak. Aamiin. Iya Mbak, aku bakal ikuti saran Mbak. Aku istikhoroh dulu, aku minta waktu, mungkin sekitar 2 minggu sampai 1 bulan ini bisa memberikan jawabannya. Gimana Mbak, terlalu lama ga ya? hehe..”
#Aninda : “Insya Allah ikhwannya ga keberatan, Ri. Beliau dewasa dan matang, bukan orang yang terburu2, apalagi ini menyangkut pernikahannya sendiri. Nanti Kang Diman kasih tau sama orangnya ya.”
~Akhir Mei 2012~
Aku beranikan diri meneleponnya, aku siap menerima resiko, apapun itu. Dengan mengucap basmalah, aku menguatkan diri.
Kang Diman : “Assalamu’alaikum…”
Aku : “Wa’alikumussalam Kang afwan ganggu, ini Riri.”
Terdiam tak ada jawaban. Aaah Kang tidakkah engkau tahu, aku ingin reaksimu yang dulu begitu hangat dan ceria saat menerima telepon dariku,
Aku : “Afwan Kang, aku cuma mau memastikan suatu hal, kalo ini sudah aku ungkapkan dan aku tau jawabannya, aku akan tenang, please….”
Kang Diman : “Silahkan ungkapkan saja Ri”
Suaranya melunak, aku sangat senang.
Aku : “Terimakasih sebelumnya atas tawaran ngenalin aku dengan Kang Abdullah. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, Kang… Maafkan aku.. Selama ini ternyata perasaanku sama Akang ga pernah berubah. Aku sungguh2 tersiksa, jadi ku beranikan diri untuk tanya hal ini sama Akang.. Kang maukah Akang menikahi aku? Agar aku terhindar dari perasaan yang tidak sepantasnya aku pendam terus menerus, insya Allah dalam ikatan yang halal, hidupku akan sangat tenang… Maaf ya Kang…”
Terdengar helaan nafas. Aku tunggu. 10 detik berlalu. Menanti jawabannya seperti naik rollercoaster menunggu turun sangat kencang.
Aku : “Kang…..”
Kang Diman : “Inilah salah satu yang aku khawatirkan. Aku sendiri sebenarnya merasa sangat bersalah padamu, Ri. Dan sangat menyesal. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Aku tidak menyalahkan dirimu dengan masih menyimpan rasa suka, sudah sejak lama kan aku berusaha menjaga jarak denganmu karena aku tidak ingin ada celah sedikitpun kita akrab kembali, kita sama2 paham kan Ri, hal itu melanggar hukum Syara’. Jadi sudahlah, kita kubur dalam2 semuanya, aku tidak mau memberimu harapan yang pada kenyataannya aku belum mampu. Bagaimana dengan istikhorohmu?”
Denyut nadiku seakan berhenti. Kalau aku tak salah menangkap maksudnya, Kang Diman mungkin juga menyukaiku selama ini. Aku bersyukur dalam hati. Perasaan sangat bahagia ini begitu indah.
Aku : “Tidak mau memberiku harapan karena belum mampu? Jadi maksudnya Akang juga punya rasa suka sama aku tapi belum mampu untuk menikah kembali. Begitukah Kang?”
Kang Diman : “Sudahlah Ri, tidak penting aku suka atau tidak punya rasa untukmu. Yang terpenting sekarang realitas. Ada ikhwan yang siap menikahimu. Lumayan mapan. Sangat dewasa dan matang. Bagaimana istikhorohmu?”
Aku : “Kang tolonglah mengerti, aku menyukaimu… Aku memendam cinta yang tulus untukmu. Kalau memang Akang belum mampu menikahiku, aku akan bersabar. Aku juga tidak akan macam2 dalam penantianku ini, aku tidak akan mengganggu rumahtangga Akang dan Mbak Aninda.”
Telepon terputus, atau diputuskan? Aku telepon kembali tapi tidak aktif. Habis batre? Aku kembali berkhayal, kata2 Kang Diman terngiang2.
Konsentrasiku pecah, apa2 yang aku lakukan serba salah. Sampai2 aku keliru menaruh tumisan kangkung yang baru ku masak ke dalam kulkas. Ummi memandangku aneh sambil tertawa, aku coba tertawa geli agar beliau tidak curiga, syukurlah berhasil.
Beberapa hari ini aku terus menelepon Kang Diman tapi tidak diangkat, smsku pun tidak dibalas. Kegelisahanku memuncak saat aku sms Mba Aninda dan diapun tidak membalas. Yaa Allah, semoga sms2ku pada Kang Diman tidak dibaca Mba Aninda. Aku menerka2 apa yang terjadi.
~Pertengahan Juni 2012~
#Kang Diman : “Assalamu’alaikum. Ri maaf aku baru menghubungimu. Hampir 2 minggu ini aku istikhoroh supaya tidak salah ambil keputusan. Bismillah.. dengan ketetapan hati yang benar2 mantap, aku minta maaf sedalam2nya karena mungkin ini sangat menyakitkan bagimu. Aku tidak bisa menikahimu. Pertimbangannya aku tidak punya kecenderungan padamu, aku juga baru belajar menjadi seorang suami, menjadi Qowwam bagi Istriku, berproses membentuk keluarga samara dan semua itu tidak mudah. Aku belum siap membina 2 rumahtangga sekaligus dengan keterbatasan ilmuku saat ini. Sekali lagi aku sungguh2 minta maaf atas semua khilafku Ri, tolong hargai keputusanku dan jangan lagi mengusik ketenangan rumahtanggaku dengan menghubungiku lagi. Mungkin suatu hari kalaupun aku siap berpoligami, aku akan sangat terbuka pada istriku dan melakukannya dengan cara yang syar'i. Mbak Aninda tidak sengaja membaca smsmu kemarin dulu, jadi ku ceritakan semuanya padanya. Aku melarang dia membalas sms mu, tapi setelah ini aku akan membiarkan kalian tetap berhubungan, aku harap hubungan kalian sama seperti sebelumnya. Istriku sangat pemaaf, kamu tidak perlu segan. Wassalamu’alaikum."
Derai air mataku tambah deras hingga akhir kalimat. Aku harus tegar menerima kenyataan pedih ini. Perasaan sangat malu melingkupi, Mbak Aninda sudah tahu semuanya. Ah, harusnya aku berterus terang dari awal padanya. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini kalau saja yang aku dekati adalah Mbak Aninda, bukan Kang Diman langsung. Sesal….. Aku segera beristighfar. Aku harus ikhlas.
Telepon berbunyi, no Mbak Aninda muncul di layar hp. Jantungku berdegup kencang. Terdengar suara lembut menyapaku hangat saat ku angkat.
Aninda : "Assalamu'alaikum. Ri, apa kabar nih?"
Aku : "Mbak Anin, alhamdulillah baik Mbak... Mbak maafin aku, aku sudah menyakiti Mbak dan mengganggu ketenangan rumahtangga Mbak dengan Kang Diman. Aku malu sekali..."
Aninda : "Sssst sudah Ri, berhentilah memojokan diri sendiri, smua sudah terjadi, dan semoga bisa kita ambil ibrahnya. Aku tidak apa2. Kehidupan rumahtanggaku pun tidak terlalu terguncang. Hanya butuh waktu untuk menetralisir kondisi ini. Tapi insya Allah kami bisa melewatinya."
....................................
....................................
Mbak Aninda, Mbakku sayang, terimakasih…….
~Wahai Muslimah (wahai para Ikhwan) rahimakumullah, jagalah jarak. Mereka bukanlah Suamimu (Istrimu) !~
Fenomena ikhwan dan akhwat yang dengan santainya berkomunikasi, kadang diselipi canda dan tawa di blog, fb, twitter, chat, email, sms maupun webcam dan telepon , baik yang kenal via dumay maupun dunia nyata sudah menjamur. Yang parah justru sebagian terjerumus ke dalam pergaulan yang sudah melanggar Syara'. Tujuan awal mencari ilmu terbelokkan karena dibumbui perasaan yang timbul karena komunikasi yang intens diantara mereka. Kebiasaan menjadi kebutuhan.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah). dan “Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR Bukhari).
Menjaga pergaulan dengan lawan jenis memang bukanlah hal mudah karena fitrah laki-laki tertarik pada wanita dan sebaliknya. Hanya dengan keimanan yang kokoh dan memahami peraturan pergaulan dalam Islam yang membuat seseorang dapat istiqomah menjaga batas-batas ini. Ketika harus benar2 berkomunikasi, fokus dengan apa yang harus diselesaikan, dan bila diperlukan sebaiknya melibatkan pihak lain sebagai saksi agar mencegah hal2 yang melanggar Syara.
Bagaimana dengan Ikhwan Akhwat yang sudah terlanjur dekat dan akrab bahkan sampai melanggar Syara baik disadari maupun tidak? Bagi yang terlanjur mempunyai “hubungan kedekatan”, tidak perlu ragu, segera putuskan komunikasi tidak sehat. Introspeksi diri, tegas dan tidak perlu takut kehilangan apapun.
Islam melarang dan mencegah kaum Muslimin melakukan hal-hal yang dapat mendekati zina. Islam mengatur hubungan antara lawan jenis. Islam juga menetapkan sifat ‘iffah (menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban. Islam melarang segala sesuatu yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang tidak disyariahkan. Maka dibutuhkan kesadaran antara laki2 dan wanita untuk bersama-sama saling menjaga pergaulan agar tidak terjerumus ke dalam kategori yang mendekati zina.
“Wahai para Muslimah, jagalah jarak dengan para ikhwan. Sampai sejauh mana antuna mampu menahan diri dan menjaga kehormatan ketika komunikasi yang terjalin semakin sering dan menimbulkan sensasi yang hanya boleh dirasakan dalam mahligai pernikahan nan suci? Berhati2 sekalipun belum tentu dapat mencegah tidak terjadi "sesuatu" nantinya. Daripada beresiko fatal, jauhi syubhat, insya Allah selamat dunia Akhirat.”
“Wahai para Ikhwan, janganlah beri harapan pada para Muslimah. Tidakkah kalian tahu bahwa wanita sangat lemah dan rapuh ketika kalian menggoda, bahkan mampu meluluhkan iman? Tidakkah kalian mencintai saudari2 kalian ini karena Allah? Perhatian yang kalian berikan hanya membuat bunga2 dakwah itu berguguran tak berharga. Sungguh fatal, padahal tujuan kita melanjutkan kehidupan Islam bertambah berat setiap detiknya. Sudahlah konspirasi keji dimana2 menyudutkan Islam, kalian justru membantu mereka dengan menjauhkan para Muslimah dari perjuangan ini.”
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad)