Para Tukang Sihir Tak Akan Pernah Beruntung Dari Mana Pun Ia Datang


Berikut ini 10 faidah yang diambil dari firman Allah Jalla wa 'Ala: "Tukang sihir tak akan pernah beruntung dari mana pun ia datang" (QS. Thaha: 69). 
 sihir

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr


Berikut ini 10 faidah yang diambil dari firman Allah Jalla wa ‘Ala:

وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Tukang sihir tak akan pernah beruntung dari mana pun ia datang” (QS. Thaha: 69).

Pertama: tukang sihir tidak akan pernah beruntung sebagaimana dikabarkan oleh Allah tabaraka wa ta’ala. Dan semestinya kita mengetahui bahwa al falah artinya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Dan al falah dinafikan dari tukang sihir menandakan penafian kebaikan baginya di dunia dan di akhirat. Maka ia adalah orang yang bangkrut dan merugi di dunia dan di akhirat.

Kedua: bahwasanya sihir itu tidak hanya memiliki satu metode, bahkan ia memiliki banyak metode, banyak tempat belajar dan banyak jenis. Karena Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dengan menggunakan kalimat حَيْثُ أَتَى (“dari mana pun ia datang“). Maksudnya: bagaimana pun metodenya dan bagaimana pun caranya dan darimana pun ia belajar. Maka, sihir itu bagaimana pun metodenya, bagaimana pun caranya, apapun jenisnya, inilah akibat dan hasil yang ia dapatkan. Yaitu bahwa pelakunya tidak akan beruntung secara mutlak, baik di dunia maupun di akhirat.

Ketiga: ketika Allah ta’ala mengabarkan bahwa tukang sihir tidak akan beruntung darimana pun ia datang, maka orang yang datang kepada tukang sihir untuk meminta manfaat atau meminta suatu perbaikan, maka ia lebih pasti lagi mendaptkan ketidak-beruntungan.

Keempat: batilnya nusyroh, yaitu menghilangkan sihir dengan sihir. Terdapat dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya tentang nusyroh, beliau bersabda:

هي من عمل الشيطان
“itu adalah perbuatan setan”

Maka melawan sihir dengan sihir hukumnya tidak diperbolehkan. Diharamkan bagi seorang Muslim pergi ke tukang sihir walaupun tujuan kedatangannya tersebut untuk menghilangkan sihir yang menimpanya. Dan ia tetap termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala  حَيْثُ أَتَى (“dari mana pun ia datang“). Maka tidak mungkin bisa dicapai suatu keuntungan dari semua sisi walaupun tujuannya untuk menghilangkan sihir.

Kelima: jika telah diketahui bahwa tukang sihir itu tidak akan beruntuh (yaitu tidak akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat), maka orang yang mendatanginya juga akan merugi dan tidak akan beruntung, walaupun tujuannya untuk menghilangkan sihir lain yang menimpanya. Dari sini perlu di ketahui bahwa ketika ada yang mendatangi tukang sihir walaupun tujuannya untuk menghilangkan sihir yang menimpanya, tidak akan bisa kecuali dengan ber-taqarrub kepada setan. Terkadang tukang sihir tersebut menyembuhkan penyakit biasa yang orang tersebut namun ia menjerumuskannya kepada musibah yang besar yaitu kekufuran kepada Allah, atau terjerumus dalam perbuatan syirik, atau menjadi bergantung kepada para setan dan ber-taqarrub kepada mereka, dan yang semisalnya.

Keenam: ayat ini memperkuat hati orang Mu’min agar senantiasa bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan tsiqah kepada-Nya. Karena Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa tukang sihir itu tidak akan beruntung. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

“mereka tidak dapat membahayakan seorang pun kecuali atas izin Allah” (QS. Al Baqarah: 102).

Dan ini memperkuat hati seorang hamba agar senantiasa bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan tsiqah kepada-Nya, serta agar sama sekali hatinya tidak punya keinginan menggunakan sihir dan yang semacamnya karena takut kepada tukang sihir atau perasaan semacam itu. Bahkan (dengan ayat ini) seorang Mu’min menjadi hamba yang tsiqah (percaya akan pertolongan) Rabb-Nya, dan menjadi hamba yang bertawakkal kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Bertambah imannya, bertambah keyakinannya, dan bertambah tawakkalnya kepada Allah semata tabaaraka wa ta’ala. Bertambah imannya bahwa tidak mungkin tukang sihir bisa membahayakan dirinya kecuali atas izin Allah tabaaraka wa ta’ala. Maka ia menjadi hamba yang hanya bergantung kepada Allah, dan bertawakkal hanya kepada Allah, serta hanya meminta pertolongan hanya kepada Allah.

sihir-perdukunan 

Ketujuh: keberuntungan dan ketinggian derajat itu hanya bisa didapatkan oleh orang yang beriman. Pemahaman ini diambil dari perkataan para penyihir yaitu mereka mengatakan:

وَقَدْ أَفْلَحَ الْيَوْمَ مَنِ اسْتَعْلَى
“akan beruntunglah para hari ini orang yang tinggi derajatnya” (QS. Thaha: 64).

Namun Allah tidak meridhai keberuntungan kecuali pada ahli iman (orang beriman), sehingga Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Tukang sihir tak akan pernah beruntung dari mana pun ia datang” (QS. Thaha: 69).

setelah memerintahkan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk melemparkan tongkat kecil yang ia pegang untuk melawan sekian banyak sihir yang dilontarkan.

وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى

“(Allah berfirman: ) Lemparlah apa yang ada di tangan kananmu sehingga ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya yang mereka perbuat hanyalah tipuan sihir dan tukang sihir tak akan pernah beruntung dari mana pun ia datang” (QS. Thaha: 69).

Kedelapan: Hukum yang Allah sebutkan dalam ayat ini, berlaku untuk semua tukang sihir di semua zaman. Ini kita ketahui dari metode Al Qur’an ketika mengisahkan tentang beberapa tukang sihir yang spesifik yang menghadapi Nabi Musa ‘alaihissalam, namun mereka tidak sebutkan dengan kalimat لا يفلح هؤلاء السحرة (“mereka itu tidak akan beruntung”), namun digunakan kalimat وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى (“tukang sihir tak akan pernah beruntung dari mana pun ia datang“).

 Diantara metode Al Qur’an, jika hukum tidak hanya berlaku pada objek tertentu yang dimaksud oleh ayat, namun berlaku juga untuk semua objek yang memiliki sifat yang disebutkan dalam ayat, maka akan disebutkan dalam bentuk umum. Sebagaimana dalam ayat ini. Maka kata الساحر (tukang sihir) di sini maknanya semua tukang sihir di setiap zaman dan setiap tempat. Jadi alim laf di sini menunjukan jenis.

Kesembilan: pentingnya mempelajari kisah perjalanan para Nabi ‘alahis shalatu was salam. Karena kisah-kisah tersebut penuh dengan ibrah, nasehat dan pelajaran berharga. Dan kisah-kisah tersebut juga dapat memperkuat iman, memperkuat hati, dan memperkuat hubungannya dengan Rabb-nya serta memperkuat tawakkal-nya. Orang yang membaca kisah-kisah tersebut serta permisalan-permisalan yang ada di dalam Al Qur’an serta semua yang disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya, akan menemukan ibrah, nasehat dan pelajaran berharga. Sebagaimana firman Allah tabaraka wa ta’ala:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“sungguh terdapat dalam kisah-kisah mereka, pelajaran-pelajaran bagi orang yang berpikir” (QS. Yusuf: 111).

Kesepuluh: ayat ini adalah penguat dari firman Allah tabaraka wa ta’ala:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya” (QS. Ath Thalaq: 3).

Dan firman Allah tabaraka wa ta’ala:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“bukanlah Allah pasti memberikan kecukupan pada hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).

Nabi Musa ketika itu dalam kondisi menghadapi kurang lebih 30.000 tukang sihir, sebagaimana disebutkan para ahli tafsir, dan mereka menggabungkan semua kekuatan sihirnya serta bekerja sama bahu membahu dalam melawan Nabi Musa ‘alaihissalam, namun semua kumpulan ini dipupuskan oleh Allah,

مَا جِئْتُمْ بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ

“sihir apa pun yang mendatangimu, sesungguhnya Allah akan memusnakannya” (QS. Yunus: 81).

Dan walhasil, Allah membatalkan sihir mereka, dan akibat yang mereka dapatkan adalah kerugian dan tidak mendapatkan keberuntungan selamanya.