Dua-tiga dekade lalu, istilah MBA, yang merupakan akronim Marriage By Accident atau "menikah lantaran kecelakaan", alias hamil duluan, mulai dikenal. Istilah yang disambut dengan cibir. Siapapun yang mengalaminya, akan mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat.
Namun beberapa waktu berselang, MBA terkesan semakin "biasa". Para pelaku MBA, termasuk kalangan public figure, malah santai saja bicara soal perbuatannya di televisi. Hamil (tanpa pernikahan sah), lalu menikah, kemudian bercerai, dianggap bukan "persoalan besar" (dan memalukan).
Terlepas dari kenyataan ini, menurut Islam, bagaimana sebenarnya hukum pernikahan antara pasangan yang pihak perempuannya, pada saat pernikahan, sedang hamil?
Terdapat dua pandangan berbeda. Pertama, Haram. Imam Abu Hanifah, sebagaimana dipapar dalam ummi, menyebut bahwa perempuan tersebut haram dinikahi oleh laki-laki yang bukan sebagai bapak dari calon bayinya (laki-laki yang telah berzina dengannya).
Namun laki-laki seperti ini tetap boleh menikahi, namun haram baginya untuk menggauli istrinya itu, hingga yang bersangkutan melahirkan.
Pandangan yang sama juga datang dari Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalilnya adalah An-Nur Ayat 3: "laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina."
Sedangkan Imam Syafi'i memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, boleh menikahi perempuan yang hamil karena zina, baik oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki lain yang bukan ayah bagi calon bayi.
Dalilnya Surah An-Nisa' (4) juga, Ayat 32: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan."
Dalam ayat ini, para perempuan hamil karena berzina boleh dikawini sebab, sebab ia tidak termasuk ke dalam golongan perempuan yang bersuami.
Namun begitulah. Haram atau halal, sebaiknya, pernikahan dengan kondisi dan status seperti ini agar dihindarkan. Rumah tangga yang diawali dengan yang baik, Inshaa Allah, akan berkelanjutan baik.