Benarkah Perang Salib Adalah Perang Agama ?



Ada sebuah tulisan singkat tentang sejarah Perang Salib di sebuah blog yang menurut saya menarik karena cara penulisannya yang singkat tapi ‘hidup’. Tanpa perlu berpikir keras dan waktu panjang, pembaca bisa menangkap situasi seputar Perang Salib. Namun ada bagian-bagian kecil yang membuat saya memikirkannya lebih jauh.
  
Apakah Perang Salib adalah Perang Agama?

Dalam sebuah artikel di blog tersebut ditulis bahwa pada tahun 1095, Paus Urban mengirimkan pasukan secara besar-besaran karena ‘Memimpikan kerajaan Latin di Tanah Suci dan penghancuran terhadap Muslim sebagai kekuatan politik dan militer.” baca juga Sejarah Yerusalem

Jadi, apakah pengiriman Tentara Salib dilandasi agama, atau keinginan berkuasa?

Mari kita buka lagi akar sejarah; "Rentang waktu hampir 200 tahun, mulai dari serangan Tentara Salib pertama sampai kekalahan telak mereka, adalah momen yang sangat penting; yang secara signifikan telah membentuk dunia Muslim modern. Persepsi atas era tersebut telah sedemikian menetap (fixed) sehingga realitas dari kejadian-kejadian itu tidak lagi dianggap penting. Persepsi ini sangat menyesatkan, bahkan di beberapa hal sama buruknya dengan perilaku buruk Tentara Salib."

Salah satu miskonsepsi itu bahwa Kristen memerangi Islam. Faktanya, pernyataan yang lebih tepat untuk menggambarkan situasinya adalah “panglima perang abad pertengahan memerangi panglima perang abad pertengahan.” Sebagian dari mereka Kristen, sebagian Muslim. Agama terkadang memberikan pembenaran (excuse) dari sebuah aksi namun tidak pernah jadi alasan (reason). Alasan utama dari perang adalah kerakusan untuk meraih kekuatan personal dan kemakmuran. Meskipun ada tokoh yang benar-benar mulia seperti Saladdin (Salahuddin Al Ayyubi) dan Zangi, peperangan ini pun demi ‘kebesaran’mereka. Sebagian besar perang mereka [muslim] justru melawan sesama muslim. Kaum Kristen pun jarang atau bahkan tidak pernah bersatu melawan musuh Muslim mereka [artinya, Tentara Salib tidak merepresentasikan kaum Kristiani secara umum]. Mereka pun lebih sering berseteru di antara mereka sendiri.

Opini lain yang dikembangkan hingga  hari ini di Timur Tengah adalah bahwa Barat menyerang Timur. Tentara Salib dipandang sebagai bentuk ‘imperialisme awal’; sebuah propaganda yang cocok dengan propaganda pada era Perang Dingin. Kenyataannya, Tentara Salib tidak cocok dengan pola imeprialisme Eropa yang muncul belakangan. Di era-era imperialisme Barat, yang terjadi adalah negara-negara maju yang kuat dan teroganisir dengan baik telah mendominasi negara-negara yang kurang maju, melalui perdagangan yang superior, senjata, dan budaya. Selama Perang Salib, kejadiannya justru sebaliknya: justru negara-negara muslim adalah masyarakat yang jelas-jelas superior. Bahkan lebih cocok bila menyamakan Tentara Salib dengan orang-orang Barbar yang menyerbu imperium Yunani dan Barat yang maju; ini analaogi yang lebih tepat daripada imperialisme dan sangat cocok dengan perilaku Seljuk dan Mongol.

Persepsi yang lain yang mencuat adalah bahwa Perang Salib adalah sebuah aksi kejam yang dilakukan oleh para penganut Kristen, melawan para pengikut Islam yang damai. Ada kebenaran minor dalam pernyataan ini, namun tanpa konteks sejarah. Sebenarnya, seandainya tentara Salib sebagai penakluk tidak ‘semenarik’  para penakluk dari bangsa-bangsa lain, setidaknya, mereka tidak jauh lebih buruk (maksud:  penakluk-penakluk lain pun dalam sepanjang sejarah juga bertindak kejam; jadi bukan faktor Kristen-nya, melainkan memang begitulah tabiat para penakluk). Tentara Salib memang menyukai perang, namun demikian juga negara-negara Muslim yang mereka lawan  (maksud: Dinasti-Dinasti Muslim juga berekspansi ke wilayah-wilayah non Muslim melalui perang; dan saling berperang di antara sesama muslim, salah satunya pembantaian massal yang sangat-sangat brutal, yang dilakukan tentara dinasti Umawi terhadap penduduk Madinah, yang disebut Tragedi Al Harrah, tahun 63 H)

Tulisan ini bukanlah dalam rangka ‘membela’ Tentara Salib. Tapi sekedar ingin merenungkan: dimanakah akar perang? Apakah agama adalah akar dari peperangan di muka bumi, atau sekedar pemicu? Dalam teori resolusi konflik, ada empat faktor yang harus diidentifikasi: pivotal factor (akar), triggering factors (pemicu), aggravating factors (faktor yang memperuncing perang) dan mobilizing factors (peran para pemimpin, pemimpin haus perang akan membawa bangsanya berperang; dengan alasan apapun; agama pun bisa dipakai sebagai alasan; tapi artinya, bukan agama yang jadi alasan, melainkan diperalat untuk jadi alasan).

Bila kita meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Cinta Damai, dan ajaran-Nya adalah kedamaian, tentu semua agama yang diturunkan Allah sebenarnya membawa perdamaian. Bahkan bila terjadi perang di zaman Rasulullah, alasannya adalah karena diperangi (konteksnya membela diri), bukan untuk memerangi. Etika perang pun sangat dijaga oleh Rasulullah, tidak ada perilaku pembunuhan massal, apalagi menggorok leher musuh, mengangkat kepalanya dengan bangga dan tertawa-tawa, memakan jantung mayat musuhnya, sebagaimana yang dilakukan para teroris di Suriah yang mengatas namakan jihad dan Islam; atau seperti yang dilakukan Tentara Salib yang membuat lautan darah di Jerusalem.

Dan saya sepakat dengan pernyataan bahwa akar perang ekspansif / agresif adalah uang dan kekuasaan, bukan agama. Dalam konflik Suriah bisa dilihat; meski yang dikedepankan oleh pemberontak adalah isu Sunni-Syiah, namun sebenarnya di balik itu ada faktor uang dan kekuasaan; terlihat dari siapa saja pendukung dan aktor di balik perang tersebut.

Salah satu dialog dalam film Kingdom of Heaven sangat pas menggambarkan ini. Saat itu, seorang perwira Tentara Salib bernama Tiberias, memilih untuk pergi dari Jerusalem dan tidak melanjutkan perang melawan pasukan Al Ayyubi.

“I have given Jerusalem my whole life. First, I thought we were fighting for God. Then I realized we were fighting for wealth and land. I was ashamed.”

- Saya telah menyerahkan seluruh hidup saya untuk Jerusalem. Tadinya, saya pikir kita bertarung untuk Tuhan. Lalu saya menyadari, kita berperang untuk uang dan tanah. Saya merasa malu. -